Denpasar

Jaga Keharmonisan Alam Bali, Kedepankan Konsep Tri Hita Karana

DENPASAR, STATEMENTPOST.COM – Harmonisasi lingkungan alam bali, merupakan tradisi yang telah diwariskan sejak dahulu dalam bingkai filosofi Tri Hita Karana. Namun faktanya, di era moderenisasi saat ini, citra lingkungan kian bergeser tidak lagi alam dianggap sebagai pusat tetapi manusia yang dianggap sebagai pusat.

Sejak jaman dahulu menjaga keharmonisan alam bali telah dilakukan melalui konsep kehidupan Tri Hita Karana. “Namun kini, kebiasaan tersebut telah bergeser dan cenderung merusak alam bali,” ujar Akademisi Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar Prof. Dr. I Ketut Suda, M.Si, Selasa (7/10/25).

Menurut Prof. Suda, citra lingkungan dapat dibagi menjadi dua, ekosentrisme dan antroposentrisme. Citra lingkungan ekosentrisme adalah ketika masyarakat menjadikan alam sebagai pusat, manusia menekankan harmonisasi manusia dengan makhluk hidup yang menekankan moralitas dan etika lingkungan. “Namun faktanya, di era moderenisasi saat ini pergeseran citra lingkungan mulai terjadi. Padahal, ketika mengacu pada kebiasaan masyarakat Bali jaman dahulu, mereka menganut paham ekosentrisme yang dibuktikan dalam filsafat hidup masyarakat Bali dalam konsep Tri Hita Karana,” imbuhnya.

Prof. Suda menambahkan, hal tersebut menyangkut harmonisasi manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan manusia. Akhir-akhir ini tampaknya perubahan citra lingkungan yang dianut masyarakat Bali mulai bergeser ke citra lingkungan antroposentrisme. Ketika masyarakat berpegang pada citra lingkungan antroposentrisme tidak lagi alam dianggap sebagai pusat, melainkan manusia yang dianggap sebagai pusat. Yang artinya bahwa manusia dalam menilai alam dilihat dari sejauh mana nilai-nilai yang bisa dimanfaatkan oleh manusia atas sesuatu yang ada di alam semesta. Ketika itu terjadi, maka akan berkibat pada terjadinya berbagai bencana.

“Ya memang susah, pemerintah kan hanya berperan sebagai fasilitator dan juga motivator, namun kan semua berpulang pada kesadaran moral masyarakat atas keselamatan lingkungan”, ujar Prof. Suda.

Jika berbicara kesejahteraan bukan semata-mata terletak pada uang, tetapi lebih mensyukuri atas keberlimpahann Tuhan. “Ketika masyarakat bersyukur pada raihan yang diperoleh tentu dianggap sejahtera dan tanpa merusak alam,” tegasnya. (stm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *